Mansur Al Hallaj

Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahsia

Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Siri as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politikal dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofi Islam, sekaligus menjadi watak misteri dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, terkenal dengan dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Iraq. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa zalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Zul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak tersebar luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahsia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

Para teologi, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada umum pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga kelompok besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ mahupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan dan ada pula yang secara umum tidak memberi apa-apa komen, dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:

1. Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab zahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Ibnu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.

2. Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ asSulamy dan Al-Kalabadzy.

3. Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.

Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak boleh ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih terperinci.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj sentiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Jadi Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etik murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan pegadilannya:

“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan perundangan juga dihadirkan di sebelah barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309H. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukkan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada umum dalam kandang besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”.

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya masa Al-Hallaj. Kalau ia Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidak dayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan disabitkan bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menghukum Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati pengalaman terdalam dalam kaedah Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif dan ia boleh menjadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sedar, baru ia bicara tentang kisah rahsia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.

Bezakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”

Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :

1. Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.

2. Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Syukur, bukan yang lain.

3. Siapa yang menyandarkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang menyandarkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.

4. Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama sahaja, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.

5. Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung perbezaan.

6. Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

7. Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.

8. Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertutup dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, kerana kemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.

9. Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemilapan.

10. Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.

11. Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Zat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak boleh tercetus dalam imaginasi, tidak pula boleh dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.

12. Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan ZzatNya, di sana tak ada lagi perbezaan.

13. Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid.

Rabia’atul-Adawiyyah

Ibubapa Rabia’atul-Adawiyyah adalah orang miskin. Hinggakan dalam rumah mereka tidak ada minyak untuk memasang lampu dan tidak ada kain untuk membalut badan beliau. Beliau ialah anak yang keempat. Ibunya menyuruh ayahnya meminjam minyak dari jiran. tetapi bapa beliau telah membuat keputusan tidak akan meminta kepada sesiapa kecuali kepada Allah. Bapa itu pun pergilah berpura-pura ke rumah jiran dan perlahan-lahan mengetuk pintu rumah itu agar tidak didengar oleh orang dalam rumah itu. Kemudian dia pun pulang dengan tangan kosong. Katanya orang dalam rumah itu tidak mahu membuka pintu. Pada malam itu si bapa bermimpi yang ia bertemu dengan Nabi. Nabi berkata kepadanya, “Anak perempuanmu yang baru lahir itu adalah seorang yang dikasihi Allah dan akan memimpin banyak orang Islam ke jalan yang benar. Kamu hendaklah pergi berjumpa Amir Basrah dan beri dia sepucuk surat yang bertulis - kamu hendaklah berselawat kepada Nabi seratus kali tiap-tiap malam dan empat ratus kali tiap-tiap malam Jumaat. Tetapi oleh kerana kamu tidak mematuhi peraturan pada hari Khamis sudah, maka sebagai dendanya kamu hendaklah membayar kepada pembawa surat ini empat ratus dinar.”

Bapa Rabi’atul-Adawiyyah pun terus terjaga dari tidur dan pergi berjumpa dengan Amir tersebut, dengan air mata kesukaan mengalir di pipinya. Amir sungguh berasa gembira membaca surat itu dan faham bahawa beliau ada dalam perhatian Nabi. Amir pun memberi sedekah kepada fakir miskin sebanyak seribu dinar dan dengan gembira memberi bapa Rabi’atul-Adawiyyah sebanyak empat ratus dinar. Amir itu meminta supaya bapa Rabi’atul-adawiyyah selalu mengunjungi beliau apabila hendakkan sesuatu kerana beliau sungguh berasa bertuah dengan kedatangan orang yang hampir dengan Allah. Selepas bapanya meninggal dunia, Basrah dilanda oleh kebuluran. Rabi’atuladawiyyah berpisah dari adik-beradiknya. Suatu ketika kafilah yang beliau tumpangi itu telah diserang oleh penyamun. Ketua penyamun itu menangkap Rabi’atul-Adawiyyah untuk dijadikan barang rampasan untuk dijual ke pasar sebagai abdi. Maka lepaslah ia ke tangan tuan yang baru. Suatu hari, tatkala beliau pergi ke satu tempat atas suruhan tuannya, beliau telah dikejar oleh orang jahat. Beliau lari. Tetapi malang, kakinya tergelincir dan jatuh. Tangannya patah. Beliau berdoa kepada Allah, “Ya Allah! Aku ini orang yatim dan abdi. Sekarang tanganku pula patah. tetapi aku tidak peduli segala itu asalkan Kau redho denganku. tetapi nyatakanlah keridhoanMu itu padaku.” Tatkala itu terdengarlah suatu suara, “Tak mengapa semua penderitaanmu itu. Di hari akhirat kelak kamu akan ditempatkan di peringkat yang tinggi hinggakan Malaikat pun kehairanan melihatmu.” Kemudian pergilah ia semula kepada tuannya. Selepas peristiwa itu, tiap-tiap malam ia menghabiskan masa dengan beribadat kepada Allah, selepas melakukan kerja-kerjanya. Beliau berpuasa berhari-hari. Suatu hari, tuannya terdengar suara rayuan Rabi’atul-Adawiyyah di tengah malam yang berdoa kepada Allah; “Tuhanku! Engkau lebih tahu bagaimana aku cenderung benar hendak melakukan perintah-perintahMu dan menghambakan diriku dengan sepenuh jiwa, wahai cahaya mataku. Jikalau aku bebas, aku habiskan seluruh masa malam dan siang dengan melakukan ibadat kepadaMu. tetapi apa yang boleh aku buat kerana Kau jadikan aku hamba kepada manusia.” Dilihat oleh tuannya itu suatu pelita yang bercahaya terang tergantung di awing-awangan,dalam bilik Rabi’atul-Adawiyyah itu, dan cahaya itu meliputi seluruh biliknya. Sebentar itu juga tuannya berasa adalah berdosa jika tidak membebaskan orang yang begitu hampir dengan Tuhannya. sebaliknya tuan itu pula ingin menjadi khadam kepada Rabi’atul-adawiyyah.

Esoknya, Rabi’atul-Adawiyyah pun dipanggil oleh tuannya dan diberitahunya tentang keputusannya hendak menjadi khadam itu dan Rabi’atul-adawiyyah bolehlah menjadi tuan rumah atau pun jika ia tidak sudi bolehlah ia meninggalkan rumah itu. Rabi’atul-Adawiyyah berkata bahawa ia ingin mengasingkan dirinya dan meninggalkan rumah itu. Tuannya bersetuju. Rabi’atul-Adawiyyah pun pergi. Suatu masa Rabi’atul-Adawiyyah pergi naik haji ke Mekkah. Dibawanya barangbarangnya atas seekor keldai yang telah tua. Keldai itu mati di tengah jalan. Rakan-rakannya bersetuju hendak membawa barang -barangnya itu tetapi beliau enggan kerana katanya dia naik haji bukan di bawah perlindungan sesiapa. Hanya perlindungan Allah S.W.T. Beliau pun tinggal seorang diri di situ. Rabi’atul- Adawiyyah terus berdoa, “Oh Tuhan sekalian alam, aku ini keseorangan, lemah dan tidak berdaya. Engkau juga yang menyuruhku pergi mengunjungi Ka’abah dan sekarang Engkau matikan keldaiku dan membiarkan aku keseorangan di tengah jalan.” Serta-merta dengan tidak disangka-sangka keldai itu pun hidup semula.

Diletaknya barang-barangnya di atas keldai itu dan terus menuju Mekkah. Apabila hampir ke Ka’abah, beliau pun duduk dan berdoa, “Aku ini hanya sekepal tanah dan Ka’abah itu rumah yang kuat. Maksudku ialah Engkau temui aku sebarang perantaraan.” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, patutkah Aku tunggangbalikkan dunia ini kerana mu agar darah semua makhluk ini direkodkan dalam namamu dalam suratan takdir? Tidakkah kamu tahu Nabi Musa pun ada hendak melihatKu? Aku sinarkan cahayaKu sedikit sahaja dan dia jatuh pengsan dan Gunung Sinai runtuh menjadi tanah hitam.” Suatu ketika yang lain, semasa Rabi’atul-Adawiyyah menuju Ka’abah dan sedang melalui hutan, dilihatnya Ka’abah datang mempelawanya. Melihatkan itu, beliau berkata, “Apa hendakku buat dengan Ka’abah ini; aku hendak bertemu dengan tuan Ka’abah (Allah) itu sendiri. Bukankah Allah juga berfirman iaitu orang yang selangkah menuju Dia, maka Dia akan menuju orang itu dengan tujuh langkah? Aku tidak mahu hanya melihat Ka’abah, aku mahu Allah.” Pada masa itu juga, Ibrahim Adham sedang dalam perjalanan ke Ka’abah. Sudah menjadi amalan beliau mengerjakan sembahyang pada setiap langkah dalam perjalanan itu. Maka oleh itu, beliau mengambil masa empat belas tahun baru sampai ke Ka’bah. Apabila sampai didapatinya Ka’abah tidak ada. Beliau sangat merasa hampa. Terdengar olehnya satu suara yang berkata, “Ka’abah itu telah pergi melawat Rabi’atul -Adawiyyah.” Apabila Ka’bah itu telah kembali ke tempatnya dan Rabi’atul-Adawiyyah sedang menongkat badannya yang tua itu kepada kepada tongkatnya, maka Ibrahim Adham pun pergi bertemu dengan Rabi’atul-Adawiyyah dan berkata; “Rabi’atul-adawiyyah, kenapa kamu dengan perbuatanmu yang yang ganjil itu membuat haru-biru di dunia ini?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab; “Saya tidak membuat satu apa pun sedemikian itu, tetapi kamu dengan sikap ria (untul mendapat publisiti) pergi ke Ka’abah mengambil masa empat belas tahun.” Ibrahim mengaku yang ia sembahyang setiap langkah dalam perjalanannya. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Kamu isi perjalananmu itu dengan sembahyang, tetapi aku mengisinya dengan perasaan tawaduk dan khusyuk.” Tahun kemudiannya, lagi sekali Rabi’atul-Adawiyyah pergi ke Ka’abah.

Beliau berdoa; “Oh Tuhan! Perlihatkanlah diriMu padaku.” Beliau pun berguling-guling di atas tanah dalam perjalanan itu. Terdengar suara; “Rabi’atul-Adawiyyah, hati-hatilah, jika Aku perlihatkan diriKu kepadamu, kamu akan jadi abu.” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku tidak berdaya memandang Keagungan dan KebesaranMu, kurniakanlah kepadaku kefakiran (zahid) yang mulia di sisiMu.” Terdengar lagi suara berkata, “Kamu tidak sesuai dengan itu. Kemuliaan seperti itu dikhaskan untuk lelaki yang memfanakan diri mereka semasa hidup mereka kerana Aku dan antara mereka dan Aku tidak ada regang walau sebesar rambut pun, Aku bawa orang-orang demikian sangat hampir kepadaKu dan kemudian Aku jauhkan mereka, apabila mereka berusaha untuk mencapai Aku. Rabi’atuladawiyyah, antara kamu dan Aku ada lagi tujuh puluh hijab atau tirai. Hijab ini mestilah dibuang dulu dan kemudian dengan hati yang suci berhadaplah kepadaKu. Sia-sia sahaja kamu meminta pangkat fakir dari Aku.” Kemudian suara itu menyuruh Rabi’atul-Adawiyyah melihat ke hadapan. Dilihatnya semua pandangan telah berubah. Dilihatnya perkara yang luar biasa. Di awang-awangan ternampak lautan darah yang berombak kencang.

Terdengar suara lagi, “Rabi’atul-Adawiyyah, inilah darah yang mengalir dari mata mereka yang mencintai Kami (Tuhan) dan tidak mahu berpisah dengan Kami. Meskipun mereka dicuba dan diduga, namun mereka tidak berganjak seinci pun dari jalan Kami dan tidak pula meminta sesuatu dari Kami. Dalam langkah permulaan dalam perjalanan itu, mereka mengatasi semua nafsu dan cita-cita yang berkaitan dengan dunia dan akhirat. Mereka beruzlah (memencilkan diri) dari dunia hingga tidak ada sesiapa yang mengetahui mereka. Begitulah mereka itu tidak mahu publisiti (disebarkan kepada umum) dalam dunia ini.” Mendengar itu, Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Tuhanku! Biarkan aku tinggal di Ka’abah.” Ini pun tidak diberi kepada beliau.

Beliau dibenarkan kembali ke Basrah dan menghabiskan umurnya di situ dengan sembahyang dan memencilkan diri dari orang ramai. Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah sedang duduk di rumahnya menunggu ketibaan seorang darwisy untuk makan bersamanya dengan maksud untuk melayan darwisy itu, Rabi’atul-Adawiyyah meletakkan dua buku roti yang dibuatnya itu di hadapan darwisy itu. Darwisy itu terkejut kerana tidak ada lagi makanan untuk Rabi’atul-Adawiyyah. Tidak lama kemudian, dilihatnya seorang perempuan membawa sehidang roti dan memberinya kepada Rabi’atul-Adawiyyah menyatakan tuannya menyuruh dia membawa roti itu kepada Rabi’atul- Adawiyyah. Rabi’atul-Adawiyyah bertanya berapa ketul roti yang dibawanya itu. Perempuan itu menjawab, “Lapan belas.” Rabi’atul-Adawiyyah tidak mahu menerima roti itu dan disuruhnya kembalikan kepada tuannya. Perempuan itu pergi. Kemudian datang semula. Rabi’atul-Adawiyyah menerima roti itu selepas diberitahu bahawa ada dua puluh ketul roti dibawa perempuan itu. Darwisy itu bertanya kenapa Rabi’atul-Adawiyyah enggan menerima dan kemudian menerima pula. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Allah berfirman dalam Al-Quran iaitu : “Orang yang memberi dengan nama Allah maka Dia akan beri ganjaran sepuluh kali ganda. Oleh itu, saya terima hadiah apabila suruhan dalam Al-Quran itu dilaksanakan.” Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah sedang menyediakan makanan. Beliau teringat yang beliau tidak ada sayur. Tiba-tiba jatuh bawang dari bumbung. Disepaknya bawang itu sambil berkata, “Syaitan! Pergi jahanam dengan tipu-helahmu. Adakah Allah mempunyai kedai bawang?” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Aku tidak pernah meminta dari sesiapa kecuali dari Allah dan aku tidak terima sesuatu melainkan dari Allah.” Suatu hari, Hassan Al-Basri melihat Rabi’atul-Adawiyyah dikelilingi oleh binatang liar yang memandangnya dengan kasih sayang. Bila Hassan Al-Basri pergi menujunya, binatang itu lari. Hassan bertanya, “Kenapa binatang itu lari?” Sebagai jawapan, Rabi’atul-adawiyyah bertanya, “Apa kamu makan hari ini?” Hassan menjawab, “Daging.” Rabi’atul- Adawiyyah berkata, Oleh kerana kamu makan daging, mereka pun lari, aku hanya memakan roti kering.” Suatu hari Rabi’atul-Adawiyyah pergi berjumpa Hassan Al-Basri.

Beliau sedang menangis terisak-isak kerana bercerai (lupa) kepada Allah. Oleh kerana hebatnya tangisan beliau itu, hingga air matanya mengalir dilongkang rumahnya. Melihatkan itu, Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Janganlah tunjukkan perasaan sedemikian ini supaya batinmu penuh dengan cinta Allah dan hatimu tenggelam dalamnya dan kamu tidak akan mendapati di mana tempatnya.” Dengan penuh kehendak untuk mendapat publisiti, suatu hari, Hassan yang sedang melihat Rabi’atul-Adawiyyah dalam satu perhimpunan Aulia’ Allah, terus pergi bertemu dengan Rabi’atul-Adawiyyah dan berkata, “Rabi’atul-adawiyyah, marilah kita meninggalkan perhimpunan ini dan marilah kita duduk di atas air tasik sana dan berbincang hal-hal keruhanian di sana.” Beliau berkata dengan niat hendak menunjukkan keramatnya kepada orang lain yang ia dapat menguasai air (seperti Nabi Isa a.s. boleh berjalan di atas air). Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Hassan, buangkanlah perkara yang sia-sia itu. Jika kamu hendak benar memisahkan diri dari perhimpunan Aulia’ Allah, maka kenapa kita tidak terbang sahaja dan berbincang di udara?” Rabi’atul-adawiyyah berkata bergini kerana beliau ada kuasa berbuat demikian tetapi Hassan tidak ada berkuasa seperti itu. Hassan meminta maaf. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Ketahuilah bahawa apa yang kamu boleh buat, ikan pun boleh buat dan jika aku boleh terbang, lalat pun boleh terbang. Buatlah suatu yang lebih dari perkara yang luarbiasa itu. Carilah ianya dalam ketaatan dan sopan-santun terhadap Allah.” Seorang hamba Allah bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah tentang perkara kahwin.

Beliau menjawab, “Orang yang berkahwin itu ialah orang yang ada dirinya. Tetapi aku bukan menguasai badan dan nyawaku sendiri. Aku ini kepunyaan Tuhanku. Pintalah kepada Allah jika mahu mengahwini aku.” Hassan Al-Basri bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah bagaiman beliau mencapai taraf keruhanian yang tinggi itu. Rabi’atul-adawiyyah menjawab, “Aku hilang (fana) dalam mengenang Allah.” Beliau ditanya, “Dari mana kamu datang?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku datang dari Allah dan kembali kepada Allah.” Rabi’atul-Adawiyyah pernah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad S.A.W. Dan baginda bertanya kepadanya sama ada beliau pernah mengingatnya sebagai sahabat. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Siapa yang tidak kenal kepada tuan? Tetapi apakan dayaku. Cinta kepada Allah telah memenuhi seluruhku, hinggakan tidak ada ruang untuk cinta kepadamu atau benci kepada syaitan.” Orang bertanya kepada Rabi’atul-adawiyyah, “Adakah kamu lihat Tuhan yang kamu sembah itu? Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Jika aku tidak lihat Dia, aku tidak akan menyembahNya.” Rabi’atul-Adawiyyah sentiasa menangis kerana Allah. Orang bertanya kepadanya sebab beliau menangis. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Aku takit berpisah walau sedetik pun dengan Tuhan dan tidak boleh hidup tanpa Dia.

Aku takut Tuhan akan berkata kepadaku tatkala menghembuskan nafas terakhir - jauhkan dia dariKu kerana dia tidak layak berada di majlisKu.” Allah suka dengan hambaNya yang bersyukur apabila ia berusaha sepertimana ia bersyukur tatkala menerima kurniaNya (iaitu ia menyedari yang ia tidak sanggup berusaha untuk Allah tanpa pertolongan dan kurniaan Allah). Seorang bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah, “Adakah Allah menerima taubat orang yang membuat dosa?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Itu hanya apabila Allah Mengurniakan kuasaNya kepada pembuat dosa itu yang ia digesa untuk mengakui dosanya dan ingin bertaubat. Hanya dengan itu Allah akan menerima taubatnya kerana dosa yang telah dilakukannya.” Sholeh Al-Qazwini selalu mengajar muridnya, “Siapa yang selalu mengetuk pintu rumah seseorang akhirnya satu hari pintu itu pasti akan dibuka untuknya.” Satu hari Rabi’atul-Adawiyyah mendengar beliau bercakap demikian.

Rabi’atuladawiyyah pun berkata kepada Sholeh, “Berapa lama kamu hendak berkata demikian menggunakan perkataan untuk masa depan (Futuretense) iaitu “Akan dibuka”? Adakah pintu itu pernah ditutup? Pintu itu sentiasa terbuka.” Sholeh mengakui kebenarannya itu. Seorang hamba Allah berteriak, “Aduh sakitnya!” Rabi’atul-Adawiyyah bertemu dengan orang itu dan berkata, “Oh! bukannya sakit.” Orang itu bertanya kenapa beliau berkata begitu. Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Kerana sakit itu adalah satu nikmat bagi orang yang sangat mulia di sisi Allah. Mereka merasa seronok menanggung sakit itu.” Suatu hari rabi’atul-adawiyyah sedang melihat orang sedang berjalan dengan kepalanya berbalut. Beliau bertanya kenapa kepalanya dibalut. Orang itu menjawab mengatakan ia sakit kepala. Rabi’atul-Adawiyyah bertanya, “Berapa umurmu?” Jawab orang itu, “Tiga puluh.” Rabi’atul-Adawiyyah bertanya lagi, “Hingga hari ini begaimana keadaanmu?” Kata orang itu, “Sihat-sihat sahaja.” Rabi’atul-Adawiyyah pula berkata, “Selama tiga puluh tahun Allah menyihatkan kamu, tetapi kamu tidak mengibarkan bendera pada badanmu untuk menunjukkan kesyukuran kepada Allah, dan agar manusia bertanya kenapa kamu gembira sekali dan setelah mengetahui kurniaan Tuhan kepadamu, mereka akan memuji Allah. Sebaliknya kamu, setelah mendapat sakit sedikit, membalut kepalamu dan pergi ke sana ke mari menunjukkan sakitmu dan kekasaran Tuhan terhadapmu. Kenapa kamu berlaku sehina itu!” Suatu hari khadamnya berkata, “Puan, keluarlah dan mari kita melihat keindahan kejadian Tuhan di musim bunga ini.’ Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Duduklah dalam rumah seperti aku berseorangan dan melihat yang menjadikan.

Aku lihat Dia dan bukan kejadianNya.” Suatu hari, orang bertanya kepada Rabi’atul-Adawiyyah kenapa beliau tidak menyimpan pisau dalam rumahnya. Beliau menjawab, “Memotong itu adalah kerja pisau. Aku takut pisau itu akan memotong pertalian aku dengan Allah yang ku cintai.” Suatu masa Rabi’atul-Adawiyyah berpuasa selama lapan hari. Pada hari terakhir, beliau merasa lapar sedikit. Datang seorang hamba Allah membawa minuman yang manis dalam sebuah cawan. Rabi’atul-Adawiyyah ambil minuman itu dan meletakkannya di atas lantai di satu penjuru rumahnya itu. Beliau pun pergi hendak memasang lampu. Datang seekor kucing lalu menumpahkan minuman dalam cawan itu. Melihat itu, terfikirlah Rabi’atul-Adawiyyah hendak minum air sahaja malam itu. Tatkala ia hendak mencari bekas air (tempayan), lampu pun padam. Bekas air itu jatuh dan pecah airnya bertaburan di atas lantai. Rabi’atul-adawiyyah pun mengeluh sambil berkata, “Tuhanku! Kenapa Kau lakukan begini kepadaku?” Terdengar suara berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, jika kamu hendakkan kurnia dunia, Aku boleh berikan padamu, tetapi akan menarik balik darimu siksaan dan kesakitan yang Aku beri padamu. Kurnia dunia dan siksaan

Aku tidak boleh duduk bersama-sama dalam satu hati. Rabi’atul-Adawiyyah, kamu hendak satu satu perkara dan Aku hendak satu perkara lain. Dua kehendak yang berlainan tidak boleh duduk bersama dalam satu hati.” Dengan serta-merta beliau pun membuangkan kehendak kepada keperluan hidup ini, seperti orang yang telah tidak berkehendakkan lagi perkara-perkara dunia ini semasa nyawa hendak bercerai dengan badan. Tiap-tiap pagi beliau berdoa, “Tuhan! Penuhilah masaku dengan menyembah dan mengingatMu agar orang lain tidak mengajakku dengan kerja-kerja lain.” Rabi’atul-Adawiyyah ditanya, “Kenapa kamu sentiasa menangis-nangis?” Beliau menjawab, “Kerana ubat penyakit ini ialah berdampingan dengan Tuhan.” “Kenapa kamu memakai pakainan koyak dan kotor?” Beliau ditanya lagi, “Kamu ada kawan yang kaya, dan dia boleh memberimu pakaian baru.” Rabi’atul- Adawiyyah menjawab, “Aku berasa malu meminta perkara dunia dari sesiapa pun yang bukan milik mereka kerana perkara-perkara itu adalah amanah Allah kepada mereka dan Allah jua yang memiliki segala- galanya.” Orang berkata, “Rabi’atul-Adawiyyah, Tuhan mengurniakan ilmu dan kenabian kepada lelaki, dan tidak pernah kepada perempuan, tentu kamu tidak dapat mencapai pangkat kewalian yang tinggi itu (kerana perempuan). Oleh itu apakah faedahnya usaha kamu menuju ke taraf tersebut?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Apa yang kamu kata itu benar, tetapi cubalah ketakan kepadaku siapakah perempuannya yang telah mencapai taraf kehampiran dengan Allah dan lalu berkata, “Akulah Yang Hak”. Di samping itu tidak ada orang “kasi” yang perempuan. Hanya didapati dalam kaum lelaki sahaja.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Seorang perempuan yang sentiasa bersembahyang kerana Allah adalah lelaki dan bukan perempuan.” Satu hari Rabi’atul-Adawiyyah jatuh sakit. Orang bertanya kepadanya sebab ia sakit. Beliau berkata, “Hatiku cenderung hendak mencapai Syurga, satu hari yang lampau. Kerana itu, Allah jatuhkan sakit ini sementara sebagai hukuman.” Hassan Al-Basri datang berjumpa Rabi’atul-Adawiyyah yang sedang sakit. Di pintu rumah beliau itu, Hassan bertemu dengan Amir Al-Basri yang sedang duduk dengan sebuah beg mengandungi wang. Amir itu menangis. Apabila ditanya kenapa beliau menangis, beliau menjawab, “Aku hendak menghadiahkan wang kepada Rabi’atul-Adawiyyah, tetapi aku tahu dia tidak akan menerimanya. Kerana itulah aku menangis. Bolehkah kamu menjadi pengantara dan meminta dia menerima hadiahku ini?” Hassan pun pergilah membawa wang itu kepada Rabi’atul-Adawiyyah dan meminta beliau menerima wang itu. Tetapi Rabi’atul- Adawiyyah berkata, “Oleh kerana aku telah kenal Allah, maka aku tidak lagi mahu bersembang dengan manusia dan tidak menerima hadiah dari mereka dan juga tidak mahu memberi apa-apa kepada mereka.

Di samping itu aku tidak mahu sama ada wang itu didapatinya secara halal atau haram.” Sufyan Al-Thauri berkata, “Kenapa kamu tidak memohon kepada Allah untuk menyembuhkan kamu?” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab, “Kenapa aku merungut pula kerana itu hadiah Allah bagiku. Bukankah salah jika tidak mahu menerima hadiah Tuhan? Adakah bersahabat namanya jika kehendak sahabat itu tidak kita turuti?” Malik bin Dinar pergi mengunjungi Rabi’atul-adawiyyah satu hari. Dilihatnya dalam rumah Rabi’atul-Adawiyyah satu balang yang pecah dan mengandungi air untuk minum dan mengambil wuduk, satu bata sebagai bantal dan tikar yang buruk sebagai alas tempat tidur. Malik berkata, “Jika kamu izinkan, boleh aku suruh seorang kawanku yang kaya memberimu semua keperluan harian.” Rabi’atul-Adawiyyah menjawab; “Adakah satu Tuhan yang menanggung aku, dan Tuhan lain pula menanggung kawanmu itu? Jika tidak, adakah Tuhan lupa kepadaku kerana aku miskin dan ingat kepada kawanmu itu kerana ia kaya?

Sebenarnya Allah itu tidak lupa kepada siapa pun. Kita tidak perlu memberi ingat kepada Tuhan itu. Dia lebih mengetahui apa yang baik untuk kita. Dia yang memberi kurnia dan Dia juga yang menahan kurnia itu.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Orang yang cinta kepada Allah itu hilang dalam melihat Allah hingga kesedaran kepada yang lain lenyap darinya dan Dia tidak boleh membezakan mana sakit dan mana senang.” Seorang Wali Allah datang dan merungut tentang dunia. Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Nampaknya kamu sangat cinta kepada dunia, kerana orang yang bercakap tentang sesuatu perkara itu tentulah dia cenderung kepada perkara tersebut.” Satu hari, Sufyan Al-Thauri pergi berjumpa Rabi’atul-adawiyyah. Rabi’atul- Adawiyyah menghabiskan masa malam itu dengan sembahyang.

Apabila sampai pagi, beliau berkata, “Pujian bagi Allah yang telah memberkati kita dapat sembahyang sepanjang malam. Untuk tanda kesyukuran, marilah kita puasa pula sepanjang hari ini.” Rabi’atul-Adawiyyah selalu berdoa demikian, “Tuhanku! Apa sahaja yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan dunia, berikanlah kepada musuhku dan apa sahaja kebaikan yang Engkau hendak kurnia kepadaku berkenaan akhirat, berikanlah kepada orang-orang yang berIman, kerana aku hanya hendakkan Engkau kerana Engkau. Biarlah aku tidak dapat Syurga atau Neraka. Aku hendak pandangan Engkau padaku sahaja.” Sufyan Al -Thauri menghabiskan masa sepanjang malam bercakap-cakap tentang ibadat kepada Allah dengan Rabi’atul-Adawiyyah. Di pagi hari Al-Thauri berkata, “Kita telah menghabiskan masa malam tadi dengan sebaik-baiknya.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata, “Tidak, kita habiskan masa dengan sia-sia kerana sepanjang percakapan itu kamu berkata perkara-perkara yang memuaskan hatiku sahaja dan aku pula memikirkan perkara yang kamu sukai pula. Masa itu kita buang tanpa mengenang Allah. Adalah lebih baik jika aku duduk seorang diri dan menghabiskan masa malam itu dengan mengenang Allah.” Rabi’atul-Adawiyyah berkata; “Doaku padaMu ialah sepanjang hayatku berilah aku dapat mengingatMu dan apabila mati kelak berilah aku dapat memandangMu.”

Uwais Al-Qarani

Meraup Hikmah Sang Nafas ar-Rahmandari dari Yaman

Nama Uwais al-Qarani memainkan peranan penting dalam biografi mistikal nabi. “Sesungguhnya aku merasakan nafas ar-Rahman, nafas dari Yang Maha Pengasih, mengalir kepadaku dari Yaman!” Demikian sabda Nabi SAW tentang diri Uwais, yang kemudian dalam tradisi tasawuf menjadi contoh bagi mereka yang memasuki tasawuf tanpa dituntun oleh sang guru yang hidup. Para sufi yang mengaku dirinya telah menempuh jalan tanpa pemba’iatan formal kemudian disebut dengan istilah Uwaisi. Mereka ini dibimbing langsung oleh Allah di jalan tasawuf, atau telah ditasbihkan oleh wali nabi yang misteri, Khidhir.

Uwais yang bernama lengkap Uwais bin Amir al-Qarani berasal dari Qaran, sebuah desa terpencil di dekat Nejed. Tidak diketahui bila beliau dilahirkan. Ia dilahirkan oleh keluarga yang taat beribadah. Ia tidak pernah berpendidikan kecuali dari kedua orang tuanya yang sangat ditaatinya. Untuk membantu meringankan beban orang tuanya, ia bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Dalam kehidupan kesehariannya ia lebih banyak menyendiri dan bergaul hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya. Oleh karenanya, ia tidak dikenal oleh kebanyakan orang disekitarnya, kecuali para tuan pemilik ternak dan sesamanya, para penggembala.

Hidupnya amat sangat sederhana. Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di tubuhnya. Setiap harinya ia lalui dengan berlapar-lapar sahaja. Ia hanya makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah memakan makan yang dimasak atau diolah. Oleh karenanya, ia merasakan betul derita orang-orang kecil disekitarnya. Tidak cukup dengan empatinya yang sedemikian, rasa takutnya kepada Allah mendorongnya untuk selalu berdoa kedapa Allah : “Ya Allah, janganlah Engkau menyiksaku, karena ada yang mati karena kelaparan, dan jangan Engku menyiksaku karena ada yang kedinginan.”

Ketaatan dan kecintaannya kepada Allah, juga termanifestasi dalam kecintaannya dan ketaatannya kepada Rasulullah dan kepada kedua orang tuanya, sangat luar biasa. Di siang hari, ia bekerja keras, dan dimalam hari, ia asyik bermunajat kepada Allah swt. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berdzikir dan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, meskipun ia sedang bekerja. Ala kulli hal, ia selalu berada bersama Tuhan, dalam pengabdian kepada-Nya.

Rasulullah saw menuturkan keistimewaan Uwais di hadapan Allah kepada Umar dan Ali bahawa dihari kiamat nanti, disaat semua orang dibangkitkan kembali, Uwais akan memberikan syafaat kepada sejumlah besar umatnya, sebanyak jumlah domba yang dimiliki Rabbiah dan Mudhar (keduanya dikenal karena mempunyai domba yang banyak). Karena itu, Rasulullah menyarankan kepada mereka berdua agar menemuinya, menyampaikan salam dari Rasulullah, dan meminta keduanya untuk mendoakan keduanya, yang digambarkan bahawa Uwais memiliki tinggi badan yang sedang dan berambut lebat, dan memiliki tanda putih sebesar dirham pada bahu kiri dan telapak tangannya.

Sejak Rasulullah menyarankan keduanya untuk menemuinya, sejak itu pula keduanya selalu penasaran ingin segera bertemu dengan Uwais. Setiap kali Umar mahupun Ali bertemu dengan rombongan orang-orng Yaman, ia selalu berusaha mencari tahu dimana keberadaan Uwais dari rombongan yang ditemuinya. Namun, keduanya selalu gagal mendapatkan informasi tentang Uwais. Barulah setalah Umar diangkat menjadi khalifah, informasi tentang Uwais keduanya perolih dari serombongan orang Yaman, “Ia tampak gila, tinggal sendiri dan tidak brgaul dengan masyarakat. Ia tidak makan apa yang dimakan oleh kebanyakan orang, dan tidak tampak susah atau senang. Ketika orang-orang tersenyum ia menangis, dan ketika orang-orang menangis ia tersenyum”. Demikian kata rombongan orang-orang Yaman tersebut. Mendengar cerita orang-orang Yaman tersebut, Umar dan Ali segera berangkat menuju tempat yang ditunjukkan oleh orang-orang Yaman tadi.

Akhirnya, keduanya bertemu dengan Uwais di suatu tempat terpencil. Abi Naim al-Afshani menuturkan dialog yang kemudian terjadi antara Umar dan Ali dengan Uwai al-Qarani sebagai berikut:

Umar : Apa yang anda kerjakan disini ?

Uwais : Saya bekerja sebagai penggembala

Umar : Siapa nama Anda?

Uwais : Aku adalah hamba Allah

Umar : Kita semua adalah hamba Allah, akan tetapi izinkan kami untuk mengetahui anda lebih dekat lagi

Uwais : Silakan saja.

Umar dan Ali : Setelah kami perhatikan, andalah orang yang pernah diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada kami. Doakan kami dan berilah kami nasihat agar kami beroleh kebahagiaan dunia dan di akhirat kelak.

Uwais : Saya tidak pernah mendoakan seseorang secara khusus. Setiap hari saya selalu berdoa untuk seluruh umat Islam. Lantas siapa sebenarnya anda berdua.

Ali : Beliau adalah Umar bin Khattab, Amirul Mu’minin, dan saya adalah Ali bin Abi Thalib. Kami berdua disuruh oleh Rasulullah SAW untuk menemui anda dan menyampaikan salam beliau untuk anda.

Umar : Berilah kami nasihat wahai hamba Allah

Uwais : Carilah rahmat Allah dengan jalan taat dan penuh harap dan bertawaqal kepada Allah.

Umar :Terimakasih atas nasehat anda yang sangat berharga ini. Sebagai tanda terima kasih kami, kami berharap anda mahu menerima pakaian dan wang untuk anda pakai.

Uwais : Terimakasih wahai Amirul mu’minin. Saya sama sekali tidak bermaksud menolak pemberian tuan, tetapi saya tidak memerlukan apa yang anda berikan itu. Upah yang saya terima adalah 4 dirham itu sudah lebih dari cukup. Lebihnya saya berikan kepada ibuku. Setiap hari saya cukup makan buah kurma dan minum air putih, dan tidak pernah makan makan yang di masak. Kurasa hidupku tidak akan sampai petang hari dan kalau petang, kurasa tidak akan sampai pada pagi hari. Hatiku selalu mengingat Allah dan sangat kecewa bila sampai tidak mengingat-Nya.

Ketika orang-orang Qaran mulai mengetahui kedudukan spiritualnya yang demikian tinggi di mata Rasulullah saw, mereka kemudian berusaha untuk menemui dan memuliakannya. Akan tetapi, Uwais yang sehari-harinya hidup penuh dengan kesunyian ini, diam-diam meninggalkan mereka dan pergi menuju Kufah, melanjutkan hidupnya yang sendiri. Ia memilih untuk hidup dalam kesunyian, hati terbatas untuk yang selain Dia. Tentu saja, “kesunyian” disini tidak dikenali dengan bersendirian (pengasingan diri). Hakikat bersendirian ini terletak pada kecintaanya kepada Tuhan. Siapa yang mencintai Tuhan, tidak akan terganggu oleh apapun, meskipun ia hidup ditengah-tengah keramaian.

Setelah seorang sufi bernama Harim bin Hayyam berusaha untuk mencari Uwais setelah tidak menemukannya di Qaran. Kemudian ia menuju Basrah. Di tengah perjalanan menuju Basrah, inilah, ia menemukan Uwais yang mengenakan jubah berbulu domba sedang berwudhu di tepi sungai Eufrat. Begitu Uwais beranjak naik menuju tepian sungai sambil merapikan jenggotnya. Harim mendekat dan memberi salam kepadanya.

Uwais : menjawab: “ Wa alaikum salam”, wahai Harim bin Hayyan.

Harim terkejut ketika Uwais menyebut namanya.

“Bagaimana engakau mengetahui nama saya Harim bin Hayyan?’ tanya Harim. “Rohku telah mengenal rohmmu”, demikian jawan Uwais.

Uwais : kemudian menasihati Harim untuk selalu menjaga hatinya. Dalam arti mengarahkannya untuk selalu dalam ketaatan kepada-Nya melalui mujahadah, atau mengarahkan diri “dirinya” untuk mendengar dan mentaati kata hatinya.

Meskipun Uwais menjalani hidupnya dalam bersendirian dan kesunyian, tetapi pada saat-saat tertentu ia ikut bergiat dalam kegiatan jihad untuk membela dan mempertahankan agama Allah. Ketika terjadi perang Shiffin antara golongan Ali melawan Muawiyah, Uwais berdiri di golongan Ali. Saat orang islam membebaskan Romawi, Uwais ikut dalam barisan tentera Islam. Saat kembali dari pembebasan tersebut, Uwais diserang penyakit dan meninggal saat itu juga. (t.39 H).

Demikianlah sekelumit tentang Uais al-Qarani, kemudian hari namanya banyak di puji oleh masyarakat. Yunus Emre misalnya memujinya dalam satu sajak syairnya :

Kawan tercinta kekasih Allah;

Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani.

Dia tidak berbohong ; dan tidak makan makan haram

Di tanah Yaman, Uwais al-Qarani

Di pagi hari ia bangun dan mulai bekerja,

Dia membaca dalam zikir seribu satu malam Allah;

Dengan kata Allahu Akbar dia menghela unta-unta

Di tanah Yaman, Uwais alQarani

Negeri Yaman “negeri di sebelah kanan “, negeri asal angin sepoi-sepoi selatan yang dinamakan nafas ar-rahman, Nafas dari Yang Maha Pengasih, yang mencapai Nabi dengan membawa bau harum dari ketaatan Uwais al-Qarani, sebagaimana angin sepoi-sepoi sebelumnya yang mendatangkan keharuman yang menyembuhkan dari kemeja Yusuf kepada ayahnya yang buta. Ya’kub (QS, 12: 95), telah menjadi simbol dari Timur yang penuh dengan cahaya, tempat dimana cahaya muncul, yang dalam karya Suhrawadi menggambarkan rumah kerohanian yang sejati. “Negeri di sebelah kanan “ itu adalah tanah air Uwais al-Qarani yanag memeluk Islam tanpa pernah betemu dengan nabi. Hikmah Yamaniyyah, “Kebijaksanaan Yaman,” dan Hikmah Yamaniyyah,”filosofi Yanani”, bertentangan, sebagaimana makrifat intuitif dan pendekatan intelektual, sebagaimana Timur dan Barat.

Doa dan Zikir

Satu hal yang perlu digarisbawahi dari diri Uwais al-Qarani, kemudian menjadi landasan dalam tareqat-tareqat sufi, selain baktinya yang luar biasa terhadap kedua orang tuanya dan sikap zuhudnya, adalah doa dan zikirnya. Uwais tidak pernah berdoa khusus untuk seseorang, tetapi selalu berdoa untuk seluruh umat kaum muslim. Uwais juga tidak pernah lengah dalam berzikir meskipun sedang sibuk bekerja, mengawasi dan menggiring ternak-ternaknya.

Doa dan zikir bagaikan dua sisi mata wang yang tidak dapat dipisahkan. Hakikatnya adalah satu. Sebab, jelas doa adalah salah satu bentuk dari zikir, dan zikir kepada–Ku hingga ia tidak sempat bermohon (sesuatu) kepada-Ku, maka Aku akan mengurniakan kepadanya sesuatu yang terbaik dari yang diminta orang yang berdoa kepada-Ku”.

Uwais selalu bedoa untuk seluruh muslimin. Doa untuk kaum muslim adalah salah satu bentuk perwujudan dari kepedulian terhadap “urusan kaum muslim”. Rasulullah saw. Pernah memperingatkan dengan keras: Siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslim, maka ia tidak termasuk umatku.” Dalam hal ini, Rasulullah saw menyatakan bahwa permohonan yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang untuk saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan dan mendahulukan doa untuk selain dirinya. Dan Uwais lebih memilih untuk medoakan seluruh saudaranya seiman.

Suatu ketika Hasan bin Ali terbangun tengah malam dan melihat ibunya, Fatimah az-Zahra, sedang khusu’ berdoa. Hasan yang pensasaran ingin tahu apa yang diminta ibunya dalam doanya berusaha untuk menguping. Namun Hasan agak sedikit kecewa, kerana dari awal hingga akhir doanya, ibunya, hanya meminta pengampunan dan kebahagian hidup untuk seluruh kaum muslimin di dunia dan di akhirat kelak. Selesai berdoa, segera Hasan bertanya kepada ibunya perihal doanya yang sama sekali tidak mendoakan doanya untuk dirinya sendiri. Ibunya tersenyum, lalu menjawab bahawa apapun yang kita panjatkan untuk kebahagiaan hidup kaum muslim, hakikatnya, permohonan itu akan kembali kepada kita. Sebab para malaikat yang menyaksikan doa tersebut akan berkata “Semoga Allah mengabulkanmu dua kali lipat.”

Dari prinsip tersebut, para sufi kemudian menarik suatu prinsip yang lebih umum yang padanya bertumpu seluruh rahasia kebahagiaan. Apa yang kita cari dalam kehidupan ini, harus kita berikan kepad orang lain. Jika kebajikan yang kita cari, berikanlah; jika kebaikan, berikanlah; jika pelayanan, berikanlah. Bagi para sufi, dunia adalah kubah, dan perilaku seseorang adalah gema dari pelaku yang lain. Secuil apapun kebaikan yang kita lakukan, ia akan kembali. Jika bukan dari seseorang, ia akan datang dari orang lain. Itulah gemanya. Kita tidak mengetahui dari mana sisi kebaikan itu akan datang, tetapi ia akan datang beratus kali lipat dibanding yang kita berikan.

Demikianlah, berdoa untuk kaum muslim akan bergema di dalam diri yang tentu saja akan nampak besar dan positif dalam membangun dan meningkatkan kualiti kehidupan spiritual seseorang. Paling tidak, doa ini akan menghapus ego di dalam diri yang merupakan musuh terbesar, juga sekaligus akan melahirkan dan menanamkan komitmen dalam diri “rasa Cinta”dan “prasangka baik”terhadap mereka, yang merupakan jalan lain dari ajaran sufi, sebagai manifestasi cinta dan pengabdian kepada Allah swt.

Uwais tidak pernah lengah untuk berzikir, mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah meskipun ia sedang sibuk mengurus binatang ternaknya. Zikir dalam pengertiannya, yang umum mencakupi ucapan segala macam ketaatan kepada Allah swt. Namun yang dilakukan Uwais disini adalah berzikir dengan menyebut nama-nama Allah dan mengingat Allah, juga termasuk sifat-sifat Allah. Ibn Qayyim al-Jauziyyah ketika memaparkan berbagai macam faedah zikir dalm kitabnya “al-wabil ash-shayyab min al-kalim at-thayyib” menyebutkan bahwa yang paling utama pada setiap orang yang beramal adalah yang paling banyak berzikir kepad Allah swt. Ahli shaum yang paling utama adalah yang paling banyak zikirnya; pemberi sedekah yang paling baik adalah yang paling banyak zikirnya; ahli haji yang paling utama adalah yang paling banyak berzikir kepada Allah swt; dan seterusnya, yang mencakup segala aktiviti dan keadaan.

Syaikh Alawi dalam “al-Qawl al-Mu’tamad,” menyebutkan bahwa mulianya suatu nama adalah kerena kemuliaan pemilik nama itu, sebeb nama itu mengandung kesan sipemiliknya dalam lipat tersembunyi esensi rahasianya dan maknanya. Berzikir dan mengulang-ulang Asma Allah, Sang Pemilik kemuliaan, dengan demikian, tak diragukan lagi akan memberikan sugesti, efek, dan pengaruh yang sangat besar. Al-Ghazali menyatakan bahawa yang diperoleh seorang hamba dari nama Allah adalah ta’alluh (penuhanan), yang berarti bahawa hati dan niatnya tenggelam dalam Tuhan, sehingga yang dilihat-Nya hanyalah Dia. Dan hal ini, dalam pandangan Ibn Arabi, bererti sang hamba tersebut menyerap nama Allah, yang kemudian merubahnya dengan ontologis. Demikianlah, setiap kali kita menyerap asma Allah lewat dzikir kepada-Nya, esensi kemanusiaan kita berubah. Kita mengalami tranformasi. Yang pada akhirnya akan membuahkan akhlak al-karimah yang merupakan tujuan pengutusan rasulullah Muhammad saw.

Dilihat dari sudut pandang psikologi sufistik, pertama-tama zikir akan memberi kesan pada ruh seseorang, membentuknya membangun berbagai bentuk kebaikan, dan kekuatan inspirasi yang dicadangkan oleh nama-nama itu. Dan mekanism batiniah seseorang menjadi semakin hidup dari pengulangan zikir itu, yang kemudian mekanism ini berkembang pada pengulangan nama-nama secara sendiri. Jadi jika seseorang telah mengilang zikirnya selama satu jam, misalnya, maka sepanjang siang dan malam zikir tersebut akan terus berlanjut terulang, karena jiwanya mengulangi terus menerus. Pengulangan dzikir ini, juga akan berkait pada ruh semesta, dan mekanism universal kemudian mengulanginya secara sendiri. Dengan kata lain, apa yang dizikirkan manusia dengan menyebutnya berulang-ulang. Tuhan kemudian mulai mengulanginya, hingga terhijab dan menjadi suatu realita di semua tingkat fana. Wallahu a’lam bis-shawab.

Syaqiq Al Balkhy

Abu Ali - Syaqiq bin Ibrahim al Balkhy (wafat 139 H./810 salah seorang di antara tokoh tokoh besar Khurasan. Ia adalah guru dari Hatim al Asham.
Dikisahkan, tentang penyebab zuhudnya, bahawa ia adalah salah seorang dari anak kalangan orang-orang berada. Suatu ketika ia melakukan lawatan ke Turki untuk suatu kepentingan perniagaan. Dan kepergiannya itu merupakan yang pertama kali baginya. Suatu saat ia masuk ke pura patung. Penjaga pura itu, rambut dan janggutnya dicukur, pakaiannya dari jenis sutera arjuwaniyah.
Syaqiq berkata kepada si penjaga, “Bukankah anda mempunyai PenciptaYang Maha Hidup, Maha Tahu, dan Maha Kuasa, maka sembahlah Dia. Jangan menyembah patung patung yang tidak membahayakan atau memberi manfaat kepada diri anda!” Penjaga itu pun menjawab, “Bila Dia sebagaimana Anda ucapkan, tentu Dia dapat memberi rezeki kepada diri anda di negara anda sana. Mengapa anda bersusah payah datang kemari untuk berniaga?” Seketika Syaqiq pun menjadi sedar, dan sejak saat itu ia mengambil jalan zuhud.
Dikisahkan, di antara penyebab zuhudnya, bahawa la melihat seorang budak yang sedang bermain-main dengan penuh suka ria di musim kemarau dan kering. Orang-orang sangat prihatin kala itu. Syaqiq bertanya, “Apa yang membuatmu bersuka cita seperti itu? Bukankah engkau melihat kesengsaraan manusia di musim kemarau dan kering ini?” Budak itu menjawab, “Bagiku kesengsaraan itu tidak ada. Tuanku berada di suatu desa yang bersih, siapa saja masuk di sana dan apa pun yang kami inginkan dicukupi.” Sejenak Syaqiq sedar, dan berkata pada diri sendiri, “Kalau tuannya berada di suatu desa, dan ia tergolong makhluk yang fakir, sementara dirinya tidak peduli terhadap rezeki, lalu layakkah seorang Muslim mementingkan rezekinya, sedangkan Tuannya Maha Kaya?”

Hatim al Asham berkata, “Syaqiq al Balkhy tergolong kaya raya. Ia menghidupi para pemuda pada masanya. Sedangkan Gabenor Balkh kala itu adalah Ali bin Isa bin Mahan. Sang gabenor ini sangat menyayangi anjing pemburu miliknya. Suatu saat salah satu anjingnya hilang. Lantas anjing itu ditemukan berada di tempat seseorang laki-laki yang menjadi tetangga Syaqiq. Laki-laki itu pun dicari, namun ia lari dan bersembunyi di rumah Syaqiq. Lantas Syaqiq pergi ke rumah gubernur, dan berkata, ‘Tolong beri jalan. Soal anjing itu ada dirumahku, kukembalikan tiga hari lagi.’ Para pengawal gabenor menyilakan Syaqiq, dan setelah itu Syaqiq kembali pulang.

Pada hari ketiga, seorang sahabat Syaqiq yang sudah lama menghilang dari Balkh datang. Sahabat itu menemukan anjing yang lehernya berkalung di jalan, lantas anjing itu pun dibawanya. Lebih baik, anjing ini kuberikan saja kepada Syaqiq, sebab ia sibuk dengan kaum muda,’ kata si sahabat tersebut. Ketika Syaqiq melihatnya, ternyata anjing tersebut adalah anjing gabenor. Syaqiq amat girang, dan anjing itu tepat pada hari ketiga dibawa kepada gabenor, dan ia bebas dari beban. Allah swt. kemudian melimpahkan rezeki kesadaran, dan Syaqiq bertobat dari perilaku sebelumnya, kemudian menempuh jalan zuhud. “

Hatim al Asham menceritakan kisahnya ketika bersama Syaqiq, “Kami pernah bersama dengan Syaqiq dalam satu barisan tempur ketika memerangi orang-orang Turki. Saat itu tidak terlihat kecuali kepala-kepala manusia yang aneh, busur-busur panah yang patah dan pedang-pedang yang putus. Syaqiq berkata kepadaku, ‘Bagaimana dengan dirimu, hari ini, wahai Hatim? Apakah engkau melihatnya seperti kejadian semalam ketika engkau diusir oleh isterimu?’ Aku berkata, ‘Tidak, demi Allah!’ Syaqiq berkata, ‘Namun, bagiku, demi Allah, pada hari ini sama dengan dirimu pada malam itu.’ Kemudian Syaqiq tidur di antara dua rak, berbantalkan perisai, hingga terdengar gerit-geritnya.”

Di antara ucapan Syaqiq, “Bila Anda ingin mengenal seseorang, maka kenalilah; apakah ia memilih janji Allah swt. atau memilih janji manusia. Lebih condong ke mana orang tersebut, maka akan kelihatan peribadinya.”
Katanya pula, “Takwa seseorang diketahui atas tiga hal: Mengambil, mencegah dan berbicaranya.”

Jalaluddin Rumi

Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"

Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."

Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"

Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."

Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"

Aku berkata, "Sampai ada panggilan."

Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah

Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.

Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."

Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."

Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."

Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."

Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi

terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman

ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang

indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai

kedalaman makna. Dua hal itulah -kedalaman makna dan keindahan bahasa-

yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum

maupun sesudahnya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang

berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah

- sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya.

Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana TurkI

Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera

dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang

dilanda penyakit itu.

Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar

bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat

diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui.

Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat

melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran

seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata,

yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi

goyah.

Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat

keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka

merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka

menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya

Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula

memanjakannya."

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah

melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera.

Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa

menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.



PENGARUH TABRIZ



Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang

baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi

tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak

meleset.

Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi

menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al-

Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di

Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma).

Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama

besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu

agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu

menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan

fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa

terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk

keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.

Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu

negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari

Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara)

dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad,

mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya

sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di

kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun.

Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq

at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga

menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya

pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.

Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya.

Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga

menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama

berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat

berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48

tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah

madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama,

ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu.

Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa

dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak

yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing -yakni



Syamsi Tabriz- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?"

Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu

dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi

berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum

kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat

tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hinggaberhari-hari.

Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya,

seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru

besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan

zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat

kandungan ilmu yang tiada taranya."

Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benarsempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang

asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas

keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya.

Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu,

kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar

berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia

mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur

Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit

kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari

Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan

dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin

keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya.

Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah

Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari

hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi.

Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya

berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut

berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit

ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair,

yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia

bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama

Maqalat-i Syams Tabriz.



Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh

Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil

selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang

besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam

jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel,

legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak

empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa;

merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan

surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah

atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes

(Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul kerana para penganut

tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan

suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.



WAFAT



Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada

Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar

kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit

keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya.

Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah

berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat

menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan

bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah.

Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.

Ibnu ‘Araby

Ibnu ‘Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu ‘Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anakanaknya,tak terkecuali Ibnu ‘Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu ‘Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Kerana itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.Meski Ibnu ‘Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu ‘Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid. Ibnu ‘Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya.

Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. “Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari kontemplasi pemikiran.Kami bermunajat dan dialog dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang dari-Nya, sehingga Al-Haq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat… dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua…”ujar Ibnu ‘Araby suatu kali. Jalan Tengah Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu ‘Araby akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.

Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak mengherankan bila dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu ‘Araby telah menjadi sufi terkenal.Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa’its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa’i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka.Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu ‘Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu ‘Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu ‘Araby menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma’rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan ‘Araby hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya.
Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan upaya penyucian dalam taman

Zat-Nya.Kontroversial Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Araby, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial.Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu ‘Araby banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggap ‘Araby telah kufur, misalnya Ibnu Taymiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga ‘kafir’. Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu ‘Araby. “Kalaubegitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu ‘Araby yang tidak memahami makna sebenarnya,” komentar Ibnu Taimiyah.Di Indonesia, ketersesatan memahami Ibnu ‘Araby juga terjadi khususnya di Jawa, ketika aliran kebatinan Jawa Singkretik dengan tasawuf Ibnu ‘Araby.Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu ‘Araby. Bahkan di pulau padat penduduk ini,sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan. Kerana itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu ‘Araby,harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif.Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8jilid), serta Futuhatul Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islamuniversal.

Hasan Al-Bashri

Lahir dan pertumbuhannya: Nama Hasan bin Yasar, maula (hamba yang dimerdekakan untuk laki-laki, untuk perempuan maulat) milik sahabat yang mulia Zaid bin Tsabit dan ibunya, Khairah maulat milik Ummu Salamah, istri Nabi saw. Hasan lahir di Madinah, kira-kira tahun 30 H, dia dibesarkan di rumah isteri-isteri Nabi, terutama rumah Umu Salamah. Dia terdidik di pangkuan Umu Salamah yang merupakan salah satu wanita Arab yang paling sempurna akal pikirannya, paling bijaksana, isteri Nabi yang paling luas ilmuanya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Juga termasuk hitungan wanita Arab yang tahu tulis baca di zaman Jahiliah. Hasan juga mendapatkan kehormatan dapat menyusu dari Umu Salamah pada saat ibunya pergi untuk suatu keperluan. Maksud Umu Salamah hanya untuk menghibur Hasan kecil yang sedang menangis karena lapar tetapi dengan kehendak Allah tetek beliau mengeluarkan susu. Demikianlah Hasan terus berpindah-pindah dari rumah Ibu kaum Mukminin yang satu ke rumah Ibu kaum Mukminin yang lain. Dari iklim yang bersih itu Hasan menghirup akhlak, agama dan ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu: Hasan berguru kepada sahabat-sahabat terkemuka di Masjid Rasul saw. seperti; Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy‘ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Umar. Lalu dia pindah ke Basrah bersama kedua orang tuanya. Basrah pada saat itu adalah salah satu pusat keilmuan terbesar. Masjidnya selalu ramai dengan para sahabat yang datang silih berganti, terutama Abdullah bin Abbas yang selalu disertai oleh Hasan Al-Bashri. Dari sahabat inilah dia belajar tafsir, hadis dan ilmu membaca Alquran. Dari sahabat lain Hasan belajar fikih, sastra dan bahasa, hingga menjadi orang yang ilmunya paling banyak pada zamannya. Akhirnya banyak orang yang mendatangi majlis pengajian Hasan yang menjadi banyak dicintai orang dan namanya terkenal ke mana-mana. Pujian ulama kepada dirinya: Salah seorang sahabat dekatnya, Khalid bin Shafwan mengatakan, “Dia adalah orang yang batinnya sama dengan lahirnya dan perkataannya sama dengan perbuatannya. Apabila berpesan untuk melakukan kebaikan dia adalah orang yang paling banyak melakukannya dan apabila melarang dari keburukan dia adalah orang yang paling banyak meninggalkannya. Saya benar-benar telah mendapatkannya sebagai orang yang tidak menidakkan orang lain di saat orang lain sangat menidakkan dirinya.” Maslamah bin Abdul Malik juga mengatakan tentang dirinya, “Bagaimana bisa tersesat suatu kaum padahal di dalamnya ada Hasan Al-Bashri?” Nasihatnya kepada para penguasa: Dia tidak pernah meninggalkan memberikan nasihat kepada para penguasa apabila hal itu dia anggap benar, meskipun keras. Sampai pada saat dimintai pendapat oleh Umar bin Hubairah tentang perintah yang diberikan oleh khalifah Yazid bin Abdul Malik yang menurutnya tidak tepat, “Ibn Hubairah! Takutlah kepada Allah dalam melaksanakan perintah Yazid dan jangan takut kepada Yazid dalam melaksanakan perintah Allah. Ketahuilah bahwa Allah swt. pasti melindungimu dari Yazid, sedang Yazid tidak mampu melindungimu dari Allah. Ibn Hubairah, sebentar lagi akan datang kepadamu seorang malaikat yang kejam dan tidak pernah melanggar perintah Allah, untuk memindahkanmu dari depan dan istana yang luas ini ke kuburan sempit yang tidak engkau temukan Yazid di sana. Sebaliknya engkau akan menemukan amal perbuatanmu yang melanggar perintah Tuhan Yazid. Ibn Hubairah! Jika engkau bersama Allah dan taat kepada-Nya, akan selamat dari musibah Ibn Abdul Malik di dunia dan akhirat. Tetapi jika bersama Yazid dalam melakukan maksiat kepada Allah, Allah akan menyerahkan dirimu kepada Yazid. Ketahuilah wahai Ibn Hubairah! Bahwa seorang makhluk siapapun orangnya tidak boleh ditaati jika dia melanggar perintah Allah.” Ibn Hubairah lalu menangis hingga air matanya membasahi janggutnya. Pesan-pesannya: Pesan-pesan Hasan Al-Bashri menggetarkan hati, menggugah orang-orang yang lalai dan membuat air mata pendengarnya bercucuran. Dia pernah mengatakan, “Permisalan antara dunia dan akhirat adalah bagaikan timur dan barat. Apabila engkau bertambah dekat ke salah satu dua arah itu, berarti anda telah bertambah jauh dari akhirat. Dunia adalah kampung, permulaannya susah payah dan akhirnya kebinasaan. Dalam barang halalnya perhitungan, dan dalam barang haramnya siksaan. Barangsiapa merasa cukup dengannya, dia telah tertipu, barang siapa membutuhkannya, dia bersedih.” Wafatnya: Hasan Al-Basri wafat pada tahun 110 H. Ketika itu penduduk Bashrah berbondong-bondong mengantar jenazahnya pada hari Jumat, awal Rajab. Semoga Allah memberinya kasih sayang yang luas.

Makam Hasan Al Basri di Basra Iraq

Imam Ghazali

Gambaran Lukisan Manusia Sahaja......

Sejarah Ringkas Al Ghazali Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al Ghazali Hujjatul Islam. Dilahirkan di Tunsia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 Hijrah (1058M). Ayahnya berkerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sebelum meninggal ayah Al Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawuf iaitu temannya juga, supaya mengasuh dan mendidik Al Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al Ghazali dibawah asuhan ahli tasawuf itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup atas usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar huraian alim ulama itu maka ayah al Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah SWT kiranya dia dianugerahkan seorang putera yang pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya Al Ghazali mempelajari ilmu feqah dinegerinya sendiri dengan Syeikh Ahmad bin Muhammad Ar Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismail. Setelah mempelajari beberapa ilmu dinegeri tersebut, berangkatlah Al Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al Haramain. Disana mulalah Al Ghazali memperlihatkan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantic(logika) falsafah, dan fiqh madzhab Syafie. Imam Al Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan “Al Ghazali itu lautan tak bertepi…..” Setelah wafat Imam Haramain, lalu Al Ghazali berangkat ke Al Askar mengunjungi Menteri Nizamul Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al Ghazali. Menteri Nizamul Muluk melantik Al Ghazali pada tahun 484 H menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiah yang didirikan di kota Baghdad. Empat tahun lama Al Ghazali mengajar di perguruan tersebut dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Maka pada tahun 488 H, Al Ghazali pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke Negeri Syam(Syria), mengunjungi Baitul Maqdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di Masjid Al Umawi di kota tersebut pada satu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “ Al Ghazaliyah” , diambil dari nama mulia itu. Pada masa itulah Al Ghazali mengarang kitab IHYA ULUMUDDIN. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dia kembali ke Baghdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya, Ihya Ulumuddin. Tidak lama selepas itu beliau berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar di Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya disamping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama feqah dan sebuah pondok untuk kaum sufi (ahli Tasawuf). Dibagikan waktunya antara membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmuyang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan solat, dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskan sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul khatimah Al Ghazali meninggal dunia pada hari Isnin tanggal 14 Jumadil akhir tahun 505 H (1111M) di Thusia. Jenazahnya dikebumikan di makam Ath Thabiran, berdekatan dengan makam Al Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Al Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “ Ku letakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa hadapan” Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh ummat Muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang berjumlah hamper 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab Ihya yang teriri daripada empat jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal dirata-rata dunia. Di Eropah ia mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasa ke dalam beberapa bahasa moden. Dalam dunia Kristian telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379-1471 M) yang mendekati dengan peribadi Al Ghazali dalam dunia Islam berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati IHYA, tetapi dipandang dari pendidikan Kritian. Diantara karangannya yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang dikenali dinegara kita, akan tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli falsafah iaitu kitab “Maqashidul falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah dan mantic, metafizika, dan fizika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke 12 M Kitab yang kedua memberi kritikan yang tajam atas system falsafah yang telah diterangkan satu persatu dalam kitab yang pertama tadi. Al Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahawa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi adalah mengumpul dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, dan yang kemudiannya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudia lahirlah di Andalusia (Sepanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Al Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al Ghazali) Dalam buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Al Ghazali tentang pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al Ghazali, dilontarkannya kitab Tahafutul falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi kekayaan bahasa Al Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam fikiran ini, Al Ghazali tampil ke tengah gelanggang pemenang. Sebagai filosofi, Al Ghazali mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan “madzhab hissiyat” iaitu dapat dikira-kira sama erti dengan mazhab perasaan .Sebagaimana filosof Inggeris David Hume (1711-1776) yang mengemukakan bahawa perasaan menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke 18 M, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia. Al Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahawa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak dapat mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri sahaja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semahu-mahunya sahaja. Lalu akhirnya Al Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya “dlaruriat” atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah SWT. Al Ghazali tidak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tidak kurang juga ia membentangkan ilmu mantic dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji disbandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hatinya serta khusyuk akan kata-kata “wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha Tahu” Dalam zaman Al Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli feqah. Maka salah satu dari usaha Al Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al Ghazali mendapat teman sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain ahli feqah. Didunia barat Al Ghazalimendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosofi. Diantaranya Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain. Seorang ahli ketimuran Inggeris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Al Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islamdari mulai zaman Rasulullah Saw sampai kepada zaman kita sekarang, iaitu: 1. Nabi Besar Muhammad s.a.w sendiri 2. Imam Al Bukhari, ulama hadis yang terbesar. 3. Imam Al Asya’ri, ulama tauhid yang termasyhur. 4. Imam Al Ghazali, pengarang Ihya yang terkenal. Demikianlah sekelumit sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebut beberapa bidang lagi, dimana Al Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, feqah dan lain-lain lagi. Aminn….

Imam Ghazali

Gambaran Lukisan Manusia Sahaja......

Sejarah Ringkas Al Ghazali Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al Ghazali Hujjatul Islam. Dilahirkan di Tunsia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 Hijrah (1058M). Ayahnya berkerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia. Sebelum meninggal ayah Al Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawuf iaitu temannya juga, supaya mengasuh dan mendidik Al Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al Ghazali dibawah asuhan ahli tasawuf itu. Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup atas usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar huraian alim ulama itu maka ayah al Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah SWT kiranya dia dianugerahkan seorang putera yang pandai dan berilmu. Pada masa kecilnya Al Ghazali mempelajari ilmu feqah dinegerinya sendiri dengan Syeikh Ahmad bin Muhammad Ar Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismail. Setelah mempelajari beberapa ilmu dinegeri tersebut, berangkatlah Al Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al Haramain. Disana mulalah Al Ghazali memperlihatkan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantic(logika) falsafah, dan fiqh madzhab Syafie. Imam Al Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan “Al Ghazali itu lautan tak bertepi…..” Setelah wafat Imam Haramain, lalu Al Ghazali berangkat ke Al Askar mengunjungi Menteri Nizamul Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al Ghazali. Menteri Nizamul Muluk melantik Al Ghazali pada tahun 484 H menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiah yang didirikan di kota Baghdad. Empat tahun lama Al Ghazali mengajar di perguruan tersebut dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Maka pada tahun 488 H, Al Ghazali pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke Negeri Syam(Syria), mengunjungi Baitul Maqdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di Masjid Al Umawi di kota tersebut pada satu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “ Al Ghazaliyah” , diambil dari nama mulia itu. Pada masa itulah Al Ghazali mengarang kitab IHYA ULUMUDDIN. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian dia kembali ke Baghdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya, Ihya Ulumuddin. Tidak lama selepas itu beliau berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar di Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya disamping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama feqah dan sebuah pondok untuk kaum sufi (ahli Tasawuf). Dibagikan waktunya antara membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmuyang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan solat, dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskan sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul khatimah Al Ghazali meninggal dunia pada hari Isnin tanggal 14 Jumadil akhir tahun 505 H (1111M) di Thusia. Jenazahnya dikebumikan di makam Ath Thabiran, berdekatan dengan makam Al Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Al Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “ Ku letakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa hadapan” Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh ummat Muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang berjumlah hamper 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab Ihya yang teriri daripada empat jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal dirata-rata dunia. Di Eropah ia mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasa ke dalam beberapa bahasa moden. Dalam dunia Kristian telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379-1471 M) yang mendekati dengan peribadi Al Ghazali dalam dunia Islam berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati IHYA, tetapi dipandang dari pendidikan Kritian. Diantara karangannya yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang dikenali dinegara kita, akan tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli falsafah iaitu kitab “Maqashidul falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah). Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah dan mantic, metafizika, dan fizika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke 12 M Kitab yang kedua memberi kritikan yang tajam atas system falsafah yang telah diterangkan satu persatu dalam kitab yang pertama tadi. Al Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahawa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi adalah mengumpul dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, dan yang kemudiannya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua. Beberapa puluh tahun kemudia lahirlah di Andalusia (Sepanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Al Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al Ghazali) Dalam buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Al Ghazali tentang pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah. Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al Ghazali, dilontarkannya kitab Tahafutul falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi kekayaan bahasa Al Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam fikiran ini, Al Ghazali tampil ke tengah gelanggang pemenang. Sebagai filosofi, Al Ghazali mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan “madzhab hissiyat” iaitu dapat dikira-kira sama erti dengan mazhab perasaan .Sebagaimana filosof Inggeris David Hume (1711-1776) yang mengemukakan bahawa perasaan menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke 18 M, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia. Al Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahawa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak dapat mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri sahaja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semahu-mahunya sahaja. Lalu akhirnya Al Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya “dlaruriat” atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah SWT. Al Ghazali tidak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tidak kurang juga ia membentangkan ilmu mantic dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji disbandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hatinya serta khusyuk akan kata-kata “wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha Tahu” Dalam zaman Al Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli feqah. Maka salah satu dari usaha Al Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al Ghazali mendapat teman sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain ahli feqah. Didunia barat Al Ghazalimendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosofi. Diantaranya Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain. Seorang ahli ketimuran Inggeris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Al Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islamdari mulai zaman Rasulullah Saw sampai kepada zaman kita sekarang, iaitu: 1. Nabi Besar Muhammad s.a.w sendiri 2. Imam Al Bukhari, ulama hadis yang terbesar. 3. Imam Al Asya’ri, ulama tauhid yang termasyhur. 4. Imam Al Ghazali, pengarang Ihya yang terkenal. Demikianlah sekelumit sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebut beberapa bidang lagi, dimana Al Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, feqah dan lain-lain lagi. Aminn….

Abu Yazid Al Busthami

Setelah menatap Allah aku memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakikat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan tercemar.

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bahagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sultan Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silasilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Abang Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mahu berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan erti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “izinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah. Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku, itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh kerana itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendoakanku. Waktu itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu ?” ibuku bertanya. “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”. Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”. Abu Zayid melakukan disiplin diri dengan terus menerus dan berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.

Makam Abu Yazid berdeketan Shahroud

Diantara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu”.”Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.”Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”"Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.”Jika demikian”, kata si guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.

Abu Yazid mendengar bahawa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diertikan menghina kota Makkah), kerana itu segera ia memutar langkahnya.”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah”, Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,”niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya”. Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku demikian ?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang zalim. Atau lihat doa Abunawas,’Ya Allah kalau Engkau masukkan aku ke dalam syurga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja taubatku’.

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban”. Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada diatas punggung unta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda.”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”

MI’ROJ Abu Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahsia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah aku pun memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup kerana cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya kerana kemaha kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realiti. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahawa akulah yang berbakti kepada-Nya. Hiasilah diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta mata, bukan diriku ini”. Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu”. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini”. Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi.

Maka sedarlah aku, bahawa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian Rohku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Syurga dan neraka ditunjukkan kepada rohku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli ?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah Saw. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad Saw. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad Rasululah Saw. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad Rasulullah Saw. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata,” aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak beliau Saw. Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu ?” Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan kerana itulah aku memberi jalan kepadanya”. Ada seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “pada hari ini genap tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu”. Abu Yazid berkata “Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati”. “Mengapa demikian ?”, tanya si murid. “Kerana matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid. “Apakah yang harus kulakukan ?”, tanya si murid pula. “Jika kukatakan, pasti engkau tidak mahu menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan kuterima !. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuakan”. “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku”. Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan”. “Maha besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah”. “Mengapa begitu ?”, tanya si murid. “Kerana engkau merasa bahawa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahawa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah ?”. “Saranan-sarananmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saranan yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahawa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid. (Besi mesti dipanasi untuk dijadikan pedang, batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. “Gosoklah berlian imanmu dengan Laa illaha ilAllah”. ‘Jadidu Imanakum bi Laa illaha ilAllah’). “Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu”. “Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam”. ” Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam”. “Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati ?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah Swt. Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya,” Anakku, siapakah namamu ?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,”Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku”. “Anakku”, Abu Yazid menjawab,”aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”. Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah fikiran ke dalam benakku bahawa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sedar bahawa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat oleh ku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ni engkau memanggilku”, katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Dari manakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu batu yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya kerana keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku kerana akupun telah membasuh debu kelancangan kerana mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

Baizid Bostami’s Mazar

No posts.
No posts.